• 1 syawal
  • Sumpah Pemuda
  • HUT RI 79
  • Hut mari
  • HB-Welcome
  • Nilai Utama
  • Maklumat Pelayanan
  • Siwas MA
  • https://www.lapor.go.id/
  • HB Visi
  • HB Misi

IMG_4206

Oleh

Danil Isnadi, S.H.I.

Jabatan Panitera Muda Hukum

Pengadilan Agama Padangsidimpuan

E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Abstrak
iconpdf

Tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana sejarah, proses legislasi, penerapan, tantangan dan pembaharuan politik Hukum Islam dalam penerapan suatu hukum dalam bidang kewarisan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penulisan Kuantitaf dengan mengumpulkan bahan-bahan yang bersumber dari buku-buku ataupun artikel yang berkaitan dengan hukum kewarisan di Indonesia. Sejarah hukum kewarisan di Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun  1989 Tentang Peradilan Agama yang kewenangannya menyelesaikan sengketa kewarisan bagi umat Islam di Indonesia dan terwujudnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Proses Legislasi Hukum Islam bidang Kewarisan bisa dilihat dalam perumusan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, respons dan reaksi negatif dikemukakan terutama oleh kalangan non-Muslim sejak tahun 1970 maka tahun 1989 proses legislasi tersebut selesai. Sejauh ini penerapan hukum Kewarisan Islam di Indonesia masih berjalan dengan baik dan masih diterapkan sebagai landasan hukum bagi hakim dalam memutus perkara-perkara kewarisan bagi umat Islam. Sedangkan tantangan yang dihadapi saat ini dalam bidang Kewarisan Islam di Indonesia yakni belum adanya Undang-undang khusus yang mengatur tentang Kewarisan seperti halnya telah di Undangkan Undang-undang Perkawinan yang di sahkan pada tahun 1974, sehingga hakim memiliki pandangan sendiri dalam memutus perkara kewarisan yang masuk ke Pengadilan Agama. Dengan ini perlu pembaruan terhadap hukum Islam bidang kewarisan dengan merevisi Kompilasi Hukum Islam dalam BAB yang membahas kewarisan atau dengan melahirkan Undang-undang yang mengatur tentang kewarisan.

 

Kata kunci : Politik Hukum Islam, Hukum Kewarisan, Sejarah, Proses Legislasi, Penerapan, Tantangan dan Pembaruan.

  • PENDAHULUAN

Hukum adalah produk politik, sehingga manakala membahas politik hukum cenderung mengedepankan pengaruh politik atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan dan perkembangan hukum. Hukum adalah hasil tarik-menarik sebagai kekuatan politik yang menjelma dalam produk hukum. Satjipto Raharjo menyatakan bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga pembuatan peraturan perundang-undangan sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian, ruang lingkup pembuatan Undang-Undang menjadi medan perbenturan akan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat Undang-Undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap politik hukum Islam dalam konteks pembahasan ini berangkat dari asumsi bahwa sesungguhnya hukum Islam bukan sistem hukum matang yang datang dari langit dan terbebas dari dinamika sosial kemasyarakatan. Sebagaimana halnya dengan sistemsistem hukum lain, hukum Islam selain berdimensi ilahiah, juga tidak lain adalah hasil interaksi manusia dengan kondisi sosial dan politiknya. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, hukum senantiasa hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika perkembangan suatu masyarakat, baik dari sisi sosio-kultural maupun politik.(Halim, 2013, p. 261).

Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia yang beberapa di antara aspek-aspeknya adalah perkawinan dan kewarisan, merupakan salah satu ekses dari perubahan sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Terutama perubahan sosial, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan yang nyata, termasuk asumsi dan pandangan sebagian muslim bahwa hukum Islam adalah suatu hal yang sakral dan eternal. Perkembangan hukum Perdata Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Hukum perdata Islam telah eksis di Indonesia jauh sebelum kedatangan penjajah. Akan tetapi, hukum Indonesia pasca kolonial pada umumnya adalah warisan kolonial Belanda. (Amran Suadi, 2015, p. 2).

Berlakunya hukum Islam di Indonesia sebagai refleksi kajian politik hukum Islam sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Berlakunya hukum Islam sebelum kemerdekaan dapat dilihat dari dua periode: penerimaan hukum Islam sepenuhnya disebut teori Receptie in Complexu, dan penerimaan hukum Islam oleh hukum Adat disebut teori Receptie. Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam pun melewati dua fase: Fase pertama, hukum Islam sebagai sumber persuasif dalam konteks hukum konstitusi, yaitu sumber hukum yang baru diterima apabila diyakini. Fase kedua, hukum Islam baru menjadi sumber otoritatif dalam ketatanegaraan ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. (Muhsin Aseri, 2016, p. 158).

Dari sini bisa ditarik suatu refleksi bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada dasarnya juga atas kehendak penguasa. Dalam pengertian bahwa bagaimana dan yang seperti apa hukum Islam yang akan diberlakukan bagi masyarakat Muslim Indonesia tersebut adalah menjadi kebijakan politik penguasa sesuai dengan konfigurasi politik negara, karena memang pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum nasional perlu mendapat legitimasi negara. Namun yang perlu menjadi perhatian untuk kajian tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia adalah apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum nasional tersebut. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hukum nasional adalah hukum positif yang berlaku secara umum (secara nasional) bagi seluruh warga negara Indonesia, di mana hukum positif tersebut berasal dari hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat (Belanda), dan hukum internasional. (Bani Syarif Maula, 2014, p. 53).

Konflik akibat perebutan harta warisan masih banyak terjadi di masyarakat. Bahkan, konflik itu kerap mencuat sebelum pewarisnya meninggal dunia. Pemicu konflik itu selain disebabkan oleh kesadaran hukum masyarakat terhadap pembagian harta warisan masih rendah, juga disebabkan oleh problem yuridis yang berkenaan dengan hukum waris yang berlaku di Indonesia. Kontradiksi yuridis tentang waris yang dimaksud adalah masih belum seragamnya penggunaan hukum waris di Indonesia. Setidaknya ada tiga jenis hukum waris yang masih tetap eksis dan hidup di tengah-tengah masyarakat, yakni :

  • Hukum waris berdasarkan syari’at Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI);
  • Hukum waris adat yang sangat pluralistis keadaannya;

Hukum Adat merupakan sistem hukum non-statutair yang diciptakan oleh Scnouck Hugronje pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Indonesia sebagai suatu hukum kebiasaan dan sebagian kecilnya adalah hukum Islam.(Komari, 2015, p. 158)

  • Hukum waris yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgelijk Wetboek (BW).

Konfigurasi hukum yang beragam tersebut tentunya akan membawa konsekuensi lebih lanjut. Ahli waris bisa dihadapkan pada (minimal) tiga pilihan yuridis. Padahal masing-masing sistem hukum waris tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar tentang sebab-sebab mendapatkan warisan, urutan ahli waris, dan bagian ahli waris. (Haries, 2013, p. 31).

Dengan demikian penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana politik hukum Islam dalam penerapan hukum dalam bidang kewarisan Islam di Indonesia. Mulai dari sejarah, proses legislasi, penerapannya, tantangan dan pembaruannya.

  • PEMBAHASAN

 

  • Sejarah Penerapan Hukum Islam Dalam Bidang Kewarisan di Indonesia

Pembagian harta warisan pada masa pra-Islam, dilakukan dengan memakai dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab (Ahmad Affandy, 2020, p. 37). Kehadiran hukum Islam dimasa kerajaan diperkuat dengan pemberlakuan teori receptie in complexu di awal masuknya kolonial, karena pertimbangan hukum yang hidup dan melekat di masyarakat Indonesia adalah hukum Islam. Di masa kerajaan kesultanan telah terbentuk badan peradilan yang mempunyai fungsi pelaksanaan kehakiman.(Hamzah, 2020, p. 129)

Di Indonesia masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan (belum adanya unifikasi hukum) yang berlaku bagi warga Negara Indonesia yaitu: Pertama, Sistem Hukum Kewarisan Perdata Barat (Eropa), yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) disingkat KUHPer yang berdasarkan ketentuan Pasal 131 I.S jo. Staatsblad 1917 Nomor 129 jo Staatsblad 1924 Nomor 557 jo Staatsblad 1917 nomor 12 tentang Penundukkan Diri terhadap Hukum Eropa, maka BW tersebut berlaku bagi Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, Orang Timur Asing Tionghoa dan Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada Hukum Eropa. Kedua, Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etis di berbagai daerah lingkungan hukum adat, misalnya sistem unilateral matrilinial di Minangkabau, patrilinial di Batak, bilateral atau parental di Jawa, alternerend unilateral (sistem unilateral yang beralih-alih) seperti di Rejang Lebong atau Lampung Papadon, yang diperlakukan kepada orangorang Indonesia yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketiga, Sistem Hukum Kewarisan Islam, yang juga terdiri pluralism ajaran, seperti ajaran Kewarisan Ahlul Sunnah Wal Jamaah, ajaran Syi’ah, ajaran Hazairin yang paling dominan dianut di Indonesia ialah ajaran Ahlul Sunnah Wal Jamaah (Mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki tetapi yang paling dominan pula di antara ajaran 4 (empat) mazhab tersebut di Indonesia dianut ajaran Syafi’i disamping ajaran Hazairin. Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam.(Ida Kurnia, 2019, p. 308)

Dalam pandangan politik hukum nasional ada tiga sistem hukum seperti hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat yang telah diberlakukan sejak zaman penjajahan kolonial Belanda bahkan sebelumnya hingga sekarang, ketiga hukum ini telah dijadikan nilai-nilai dasar dalam masyarakat dalam pembentukan hukum Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia karena sebagian besar beragama Islam maka hukum Islam memberikan kontribusi yang besar dalam menentukan tujuan dan kebijakan dasar dalam meletakkan konsep dasar politik hukum nasional dalam rangka pembentukan sistem hukum Indonesia khususnya hukum perdata tertentu yang berlaku bagi ummat Islam seperti perkaraperkara, (1) Perkawinan, (2) Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakuka berdasarkan Islam, (3) Wakaf dan Sedekah. Secara khusus dapat digambarkan bahwa pengaruh hukum Islam dalam proses politik hukum Indonesia cukup panjang yang melalui dengan beberapa tahapan yakni sejak dari: (1) Masa Pra Penjajahan Belanda, (2) Masa Penjajahan Belanda, (3) Masa Pendudukan Jepang, (4) Masa Kemerdekaan 1945, (5) Era Orde Lama dan Orde Baru, (6) Era Reformasi. (Munir, 2014, p. 390).

Sejarah Hukum Kewarisan Islam sebelum Indonesia dapat dilihat pada awal mula penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Companie). Hukum Islam mulai termajinalkan pada masa Belanda oleh akibat politik hukum Belanda. Rekayasa intelektual Belanda secara sistematik memarjinalkan Hukum Islam (Hafizd, 2021, p. 177). Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC yang memiliki peran yang luar biasa melebihi fungsinya. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kerajaan Belanda menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangan di kawasan Hindia Timur karena di samping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Akan tetapi kenyataannya, dalam penggunaan hukum Belanda mengalami banyak kesulitan, disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hokum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Pada  masa penjajahan Belanda, hukum waris mulai dimasukkan dalam sistem perundang-undangan sebagaimana yang tercantum dalam Burgelijk Wetboek (BW). (Ibnu, 2017, p. 641). Sehubungan dengan hukum Islam yang telah lama berlaku bagi masyarakat pribumi, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, antara lain:

  • Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
  • Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
  • Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Sebagai gambaran di Semarang misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer dari Al-Muharrar. Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, karena dia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. (Ija Suntana, 2014, p. 78)

Upaya-upaya pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda dapat disimpulkan secara kronologis sebagai berikut:

  • Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang sadar, yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
  • Atas dasar nota yang disampaikan oleh Mr. Scholten Van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausul terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
  • Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
  • Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan selama tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. (Munir, 2014, p. 137)

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. Pada pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air tersebut. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang masih lebih baik dari pada Hindia Belanda terutama dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan. (Munir, 2014, p. 139).

Indonesia menyatakan diri merdeka, Pada tanggal 17 Agustus dan pada tangga 18 Agustus 1945 hasil rumusan rancangan Udang-Undang Dasar oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonseia (Panitia sembilan) disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan pernyataan Indonesia merdeka berarti berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia. Selanjutnya, pasal II tentang Aturan Peralihan Undang-Undang 1945 ditekanankah bahwa hukum warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini tokoh Islam seperti Hazairin memahami pasal tersebut bahwa hukum kolinial Belanda yang hasil produk teori receptie dianggap tidak berlaku lagi dan harus exit karena bertenatangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (teori receptie exit).(Fahimah, 2018, p. 111)

Perjuangan umat Islam dalam positifisasi Hukum Islam tidak berhenti sampai disitu saja. Sejak Indonesia merdeka, para cendekiawan umat Islam Indonesia terus memainkan perannya dalam kancah politik politik Islam di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia yang sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang diwakili oleh Mohammad Hatta memimpin dengan demokratis. Pada masa pemerintahan 1945-1959 Indonesia menganut sistem politik yang demokratis. Sistem pemerintahan ini menguntungkan umat Islam. Hukum Islam pada masa pemerintahan Orde Baru maka berhasil mengupayakan lahirnya undang-undang Nomor 14 tahun 1970. Dengan lahirnya undang-undang ini posisi Peradilan Agama ditempatkan sejajar dengan peradilan negeri dalam suatau peradilan Negara, tidak berhenti sampai disitu pada tahun 1974 diterbitkan pula Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maka, dalam perjalanan selanjutnya pada tahun 1985 Pengadilan Agama mengeluarkan Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama Republik Indonesia Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1985 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar pulau Jawa dan Madura. Hal ini dikarenakan hukumhukum Islam yang berlaku dan diterapkan dalam masyarakat Indonesia tidak tertulis serta berserakan di berbagai kitab fikih klasik dari berbagai mazhab yang berbeda-beda. (Hasanudin, 2021, p. 47).

Sejarah hukum Islam bidang kewarisan dimulai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa kewarisan bagi umat Islam di Indonesia.

Kemudian penetapan atas kitab-kitab fikih klasik melalui Surat Edaran Pengadilan Agama Republik Indonesia belum berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di Pengadilan Agama. Persoalan yang muncul adalah tidak adanya keseragaman para hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam menetapkan hukum yang dihadapi. Selain itu ke-13 kitab yang disebutkan dalam Surat Edaran Pengadilan Agama tidak seluruhnya tersedia diseluruh daerah di Indonesia. Kendati keseluruhan kitab yang ada dalam surat Edaran bermazhab Syafi’i namun tetap saja memunculkan persoalan ketidak seragaman dalam putusan hakim. Problematika ini akhirnya mendorong disusunnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dengan tujuan agar penetapan hukum yang ada di Indonesia dilandasi dengan pijakan yang pasti dan seragam. Pertimbangan-pertimbangan di atas menjadi alasan yang logis bagi Mahkamah Agung dan Menteri Agama untuk mengeluarkan keputusan pada tanggal 21 Maret 1984 pembentukan panitia yang diberi tugas untuk menyusun kompilasi hukum Islam (KHI). Kompilasi yang dasarkan pada Surat Keputusan Mahkamah Agung dan Menteri Agama tersebut, kemudian Pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia (Soeharto) telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 (tiga) buku: Buku I : tentang Hukum Perkawinan. Buku II : tentang Hukum Kewarisan. Buku III : tentang Hukum Perwakafan bagi pemeluk Agama Islam. Pemberlakuan KHI diharapkan menjadi penjematan para hakim sekaligus penyatu hukum keluarga Islam khususnya bidang kewarsian di Indonesia.(Hasanudin, 2021, p. 49).

  • Proses Legislasi Hukum Islam Dalam Bidang Kewarisan di Indonesia

Meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun peran dan kontribusi hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahkan lebih dari itu hukum Islam sudah banyak terefleksi menjadi bahan atau unsur utama dalam pembentukan hukum nasional. Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pembangunan manusia seutuhnya, baik dalam pembangunan dunia maupun pembangunan akhirat maupun di bidang material atau pun di bidang spiritual.(Hendra Gunawan, 2018, p. 119)

Pembinaan dan pengembangan Hukum Islam melalui jalur legislasi harus tetap dilakukan dalam kerangka pembangunan hukum Nasional. Pembangunan hukum Nasional bertujuan mewujudkan suatu kesatuan sistem hukum Nasional.(Hatta, 2008, p. 161).

Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam undang-undang, baik yang langsung menyebutkannya dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan maslahah baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik. Daniel S.Lev mengemukakan bahwa hukum daam Islam dipisahkan dari kepentingan khusus masyarakat lokal dan digeneralisasikan bagi kepentingan segenap umat, dan hukum Islam adalah hukum ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim di manapun berada. (Sularno, 2008, p. 259).

Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam mendorong agar dibentuk Undang-undang Peradilan agama, akhirnya terwujud pada tahun 1989. Kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang a. Perkawinan, b. Kewarisan, c. Wasiat, d. hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. sadaqah, h. Infaq, dan i. Ekonimi Islam (syari’ah). Kedua: penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Ketiga: Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah.(Sularno, 2008, p. 260).

Dalam kasus perumusan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, respons dan reaksi negatif dikemukakan terutama oleh kalangan non-Muslim. Franz Magnis Suseno adalah tokoh Katolik yang sangat keras menentang pengundangan RUU tentang Peradilan Agama ini. Menurut dia, legislasi RUUPA berarti penyerahan sebagian materi peradilan dari tangan negara ke tangan badan non-negara. Ini artinya bahwa negara menyerahkan sebagian kedaulatannya ke pihak lain dan mengabdikan dirinya kepada norma kehidupan manusia. Bahkan secara sarkasme, Romo Magnis menyatakan bahwa umat Islam diberi telunjuk mau memegang seluruh tangan. Selain Magnis, reaksi juga dilakukan oleh S. Widjoyo, ia menyatakan bahwa RUUPA adalah upaya menegakkan hukum agama. Pemerintahan yang diatur oleh hukum agama, lanjutnya adalah negara agama. Bahkan S. Widjojo menutup tulisannya dengan pernyataan bahwa RUUPA ini merupakan selangkah lagi ke terwujudnya Theokrasi. Dan kita biarkan dengan lapang dada terkuburnya Demokrasi dan Kedaulatan ada di tangan Rakyat?. Pandangan yang agak moderat datang dari Victor Tanja. Ia berangkat dari pemikiran bahwa sejarah pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islam. Karena itu, kehadiran RUUPA perlu diterima dengan lapang dada oleh segenap warga negara. Akhirnya, karena kekompakan umat Islam dan perjuangan yang tak kenal lelah dari para pakar dan anggota legislatif dari kalangan muslim, Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (RUUPA) dapat disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.(Iqbal, 2012, p. 125).

Dalam proses pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam yang ditempuh melalui legislasi nasional dengan diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kenapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980- an Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dapat disahkan sebagai undang-undang. Padahal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya. Keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata khususnya masalah kewarisan. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989.(Syafruddin, 2020, p. 122).

Dewan Perwakilan Rakyat dan komitmen Pemerintah pada akhir tahun 1989 memperjuangkan secara gigih untuk menjadikan pengadilan agama mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang sederajat dengan pengadilan yang lain ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memiliki kewenangan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, wakaf dan hibah berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sedekah (Pasal 49). Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil Pengadilan Agama (PA) dalam meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpang-siuran putusan PA terhadap masalah masalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitabkitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.(Ahmad Affandy, 2020, p. 48).

Sebagaimana halnya dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bidang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut bukan merupakan ketentuan yang sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang Islam dalam masalah pembagian warisan. Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan pedoman saja (yang berarti dapat disimpangi) bagi orang atau instansi yang memerlukan. Hal ini dapat disimak pada bagian Menimbang huruf b Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berbunyi: “bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut”. Jadi, hukum waris Islam digunakan atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri bagi orang Islam.(Fauzi, 2016, p. 71).

  • Penerapan Hukum Islam Dalam Bidang Kewarisan di Indonesia

 

Dewasa ini, penerapan hukum kewarisan Islam berjalan tidak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan Allah SWT dalam nashnya (Alquran dan Sunnah). Hal ini karena banyaknya problematika atau alasan yang menyebabkan terjadi demikian. Salah satu alasannya adalah karena manusia tidak menganggap penting ilmu waris itu dan akhirnya akan terlupakan ilmunya, sebagaimana hadis yang mengatakan:

 ِنَّهُ نِ ْص ُف إ ُم ْو َها فَ َرائِ َض َو َعلِّ ُموا الفَ َعلَّ بَا ُه َر ْي َرةَ تَ َ َل َر ُسو ُل هللاِ يَا أ ا َل قَ ا ِج قَ ْع َر َع ِن األَ َّمتِي ُ ْن َز ُع ِم ْن أ َّو ُل َما يُ َ ْن َسى َو ُه َو أ ِنَّهُ يُ ِم َوإ الِعل . ْ 6

Terjemahnya: “Dari A‟raj raḍhiyallahuanhu bahwa Rasulullahi SAW bersabda,”Wahai Abu Hurairah, Pelajarilah ilmu farāiḍ dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku. (H.R. Ibnu Majah dan Daraqutni).

Berdasarkan hadis, tampak jelas bahwa kenyataan hadis tersebut terjadi sekarang ini. Urgensi hukum kewarisan Islam untuk diketahui oleh umat Islam sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasulnya tidak diindahkan dalam pelaksananya. Hukum waris Islam diatur dengan bentuk yang sangat teratur, hal ini dapat dilihat sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt. QS. anNisā/4:13-14:

ayat

Terjemahan : 13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. 14. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan (QS. anNisā/4:13-14).

Penjelasan an-Nisa/4:13-14 dapat dipahami bahwa penerapan hukum kewarisan Islam benar-benar harus dilakukan sesuai aturan. Signifikansi ilmu farāiḍ memerlukan suatu pengetahuan khusus tentang perhitungan. Untuk bisa benar-benar memahaminya, dampaknya juga telah Allah swt. janjikan ganjaran surga dan neraka bagi pelaksananya. Selain Al-Quran dan Sunnah, untuk memudahkan penyelesaian pembagian harta warisan, pemerintah mengeluarkan aturan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yakni Kompilasi Hukum Islam terjabarkan dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 183.(Leleang & Zubair, 2019, p. 223).

Penerapan hukum Islam di Indonesia bidang kewarisan, secara ringkas mengalami fase yang cukup panjang semenjak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sejarah membuktikan bahwa aplikasi hukum Islam dalam tatanan ke-Indonesiaan baru teraplikasikan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan itu pun dengan perjuangan yang sangat melelahkan khususnya bagi umat Islam.(Husien & Khisni, 2017, p. 75).

Upaya pembaruan dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi hukum itu, khususya hukum keperdataan seperti waris, munakahat, dan lain sebagainya muncul ketika lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Hukum-hukum tersebut telah mengalami perubahan baik status hukum ataupun dalam prakteknya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, dan dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991. Menurut para pakar hukum Islam seperti Rachmat Djatnika, Abdul Gani Abdullah, Bustanul Arifin, dan lain sebagainya, Kompilasi Hukum Islam (KHI)  merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan sebagai rujukan bagi para penegak hokum. Oleh sebab itu penerapan hukum Islam bidang kewarisan di Indobesia mulai diterapkan setelah lahir Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterapkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum positif bagi umat Islam di Indonesia.(Husien & Khisni, 2017, p. 76)

Bukan hanya dalam perubahan perundang-undangan yang telah banyak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan produk hukum Islam, namun peradilan agama telah memperkaya kajian keisalaman dalam bidang hukum keluarga Islam. Di samping itu, dalam perjalanan peradilan agama telah menorehkan banyak menghadirkan polemik sebagai catatan sejarah dalam perkembangan dan pertumbuhan peradilan agama. Bukan hanya dalam persoalan warisan, akan tetapi dalam masalah wasiat dan hibah telah banyak mendapat polarisasi untuk bisa sampai pada kewenangan peradilan agama.(Hamzah, 2020, p. 124)

Pada mulanya hak milik pribadi (hak milik peroranagan) tidak dikenal, yang ada hak milik kelompok (keluarga), sehingga soal warisan tidak menimbulkan masalah. Dalam perkembangan masyarakat dari masa ke masa, hubungan seseorang dengan hak miliknya begitu erat, sehingga timbullah hak milik perorangan. Apabila seseorang meninggal dunia, maka timbullah hak mewarisi. Di Indonesia tidak ada undang-undang khusus yang mengatur tentang warisan, ketentuan tentang warisan bagi umat Islam merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur BAB tersendiri tentang warisan, dan jika terjadi sengketa harta waris maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diberi kewenganan untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara kewarisan bagi yang beragama Islam.(Djaja S. Meliala, 2018, p. 2).

Setelah pelaksanaan politik hukum Pancasila, dan pengetahuan dan serta pengahayatan agama minat Islam Indonesia mantap. Pembinaan peradilan agama mencapai puncaknya dengan diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Di tahun 2006 peradilan agama, kembali mendapatkan amanah dalam kewenangan, dengan lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan agama. Secara garis besar peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan sengketa ekonomi syariah. Dan perubahan keduanya UU No. 50 tahun 2009 yang dengan eksistensi kewenangan hukum acara dan hukum terapannya telah semakin mapan. Hal itu menandakan posisi peradilan agama semakin baik dari sebelumnya, namun secara organisasi, administrasi dan finansial masih berada di bawah wewenang departemen atau kementerian masing-masing. Peradilan agama tidak hanya sebatas lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi peradilan telah memberikan kontribusi dalam pertumbuhan hukum waris. Dinamika peraturan peradilan agama telah membawa kontribusi sendiri dalam bingkai aturan kewarisan. Pertumbuhan hukum waris tidak bisa dilepas dari pertumbuhan peradilan agama, sebagai lembaga yang mempunyai fungsi pelaksana kekuasaan kehakiman. Masalah kewarisan telah menjadi kompetensi dan wewenang peradilan agama. Hal itu tertuang dalam penjelasan UU No. 3 tahun 2006 Pasal 49 huruf (b). Secara subtansi dalam UU itu mengatur tentang siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris; harta peninggalan pewaris; porsi atau bagian hak dari para ahli waris; pelaksanaan pembagian harta yang ditinggalkan (tirkah); dan penetapan pengadilan terhadap permohonan penentuan ahli waris dan penentuan pembagian hak para ahli waris.(Hamzah, 2020, p. 131).

Peran serta peradilan agama dalam pertumbuhan hukum waris, terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Dalam UU itu telah menyebutkan bahwa para pihak yang akan melakukan sengketa atau permohonan pembagian warisan, dapat memliki hukum yang akan digunakan. Maknanya adalah dalam pembagian warisan dan sengketa warisannya, ada dua hukum yang dapat digunakan atau dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum. Ketentuan itu termuat dalam penjelasan Pasal 49 huruf b UU No. 7 tahun 1989 bahwa “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian warisan”. 23 Ketentuan dalam Pasal 49 huruf b itu telah dihapus, dengan demikian telah memiliki landasan hukum kuat dalam persoalan sengketa waris dilimpahkan sepenuhnya ke peradilan agama.(Hamzah, 2020, p. 132).

Apabila timbul persengketaan ataupun perselisihan dalam menentukan pengadilan didalam pembagian waris, maka ada dua Pengadilan :

  • Pengadilan Agama bagi Warga negara RI yang beagaman Islam;
  • Pengadilan Negeri Bagi mereka yang non Muslim.

didalam hal ini, tidak ada pilihan hukum, jadi setiap warga Republik Indonesia harus menempati pengadilan yang telah di tentukan sesuai dengan agamanya masing-masing. Untuk mengakomodir warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam maka lahirlah Undang-undang Pengadilan Agama. Lembaga ini terbentuk sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Keberadaan peradilan agama ini pun juga telah diakui sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang menjalankan kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan agama.(Sanjaya, 2017, p. 245).

  • Tantangan Hukum Islam Dalam Bidang Kewarisan di Indonesia

 

Penerapan hukum waris Islam pada pembagian harta anak yang terjadi di masyarakat dari hasil penelitian masih sangat kurang penerapan hukum Islamnya. Masyarakat hanya sekedar tahu bahwa membagi harta dengan jumlah bagian lakilaki lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan. Pembagian sederhana juga dilakukan dengan membagi harta secara sama kepada seluruh ahli waris. Dapat dipahami bahwa kendala yang mempengaruhi sebagai akibat dari problematika dalam penerapan hukum waris Islam antara lain: (Leleang & Zubair, 2019, pp. 231–232)

  • Hukum adat yang menguasai pelaksanaan pembagian harta waris

Eksistensi hukum adat yang telah mendarah daging dan berlaku secara turun temurun sebagai kebiasaan masyarakat dalam penerapan hukum waris tidak memberikan ruang bagi perkembangan hukum waris Islam. Hasilnya hampir seluruh penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan dengan tanpa melibatkan pemerintah sebagai penegak hokum.

  • Hukum adat yang menguasai pelaksanaan pembagian harta waris

Kendala kedua yang dihadapi karena tidak terterapkannya hukum waris Islam adalah sikap masyarakat yang kurang peduli atau tidak menganggap penting pelaksanaan hukum waris Islam. Anggapan mereka bahwa selagi penyelesaian harta warisan bisa dilakukan secara kekeluargaan mengapa harus berbelit dengan angka-angka yang secara kasat mata tidak adil sebagai ketentuan Allah. Ilmu pengetahuan tentang hukum waris Islam yang kurang memadai juga menjadi faktor pendukung lemahnya penerapan hukum waris Islam.

  • Menjunjung tinggi Perbedaan strata sosial masyarakat

Hukum adat yang mendarah daging dan pengaruh penjajahan di Indonesia telah memberikan sekat dalam masyarakat terkait penerapan hukum kewarisan Islam. Melaksanakan kehidupan sehari-harinya pun akan sulit bersentuhan ketiga strata sosial tersebut. Yang merasa bangsawan akan melakukan aktifitasnya seolah tahu semua hukum, khususnya hukum waris sehingga tidak akan menerima masukan dan penjelasan dari orang lain, apalagi bila yang memberikan penjelasan itu berasal dari kalangan bawah.

Satu hal yang perlu perhatian dalam diktum Keputusan Menteri Agama tanggal 22 juli 1991 Nomor 154 Tahun 1991, dari Keputusan Menteri Agama ini ialah pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam yang intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi (dalam kasus ini terutama sekali dimaksud tentunya adalah Instansi Peradilan Agama) agar sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundangundangan lainny. Kata-kata sedapat mungkin dalam Keputusan Menteri Agama ini kiranya mempunyai kaitan cukup erat dengan kata-kata dapat digunakan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagaimana dikemukakan di atas, dan juga harus diartikan bukan dalam artian Kompilasi Hukum Islam hanya dipakai kalau keadaan memungkinkan, akan tetapi sebagai suatu anjuran untuk lebih menggunakan Kompilasi Hukum Islam ini dalam penyelesaian sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang terjadi di kalangan umat Islam. (Husien & Khisni, 2017, p. 84)

Apabila kita berasumsi tentang Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama menyangkut Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai kedudukan sebagai pedoman dalam artian sebagai sesuatu petunjuk bagi para Hakim Peradilan Agaman dalam memutus dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah tergantung sepenuhnya dari para Hakim dimaksud untuk menuangkannya dalam keputusan-keputusan mereka masingmasing, sehingga Kompilasi Hukum Islam ini akan terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam yurisprudensi Peradilan Agama. Dengan cara demikian, maka Peradilan Agama tidak hanya berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi justru mempunyai peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan dan sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.(Husien & Khisni, 2017, p. 85).

Hukum kewarisan sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat Jumhur Fuqaha’ (termasuk syafi’iyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian. Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian tersebut antara lain yang berkaitan dengan wasiat wajibah, yakni mengenai anak atau orang tua angkat dan ahli waris pengganti, yang berkaitan dengan masalah naqishah (radd), yaitu mengenai pengembalian sisa harta peninggalan para ahli waris dan tentang pengertian anak (walad). Ketidakjelasan pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam terkait anak angkat dan ahli waris pengganti, menyebabkan masih rancunya pemahaman para hakim terhadap ketentuan ahli waris pengganti yang berakibat terjadinya disparitas (perbedaan) produk hukum yang keluar dari Pengadilan Agama. Walaupun anak atau orang tua angkat menurut hukum kewarisan Islam bukan ahli waris, para pembuat Kompilasi Hukum Islam tampaknya memandang perlu memberi bagian kepada mereka melalui wasiat wajibah. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada mereka dalam mendapatkan sebagian harta peninggalan anak atau orangtua angkatnya, manakala mereka tidak mendapat atau menerima wasiat dari orang tua atau anak angkatnya.(Somawinata, 2009, pp. 142–144).

Inilah tantangan bagi para hakim di Peradilan Agama dalam menerapkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam menyelesaikan sengketa kewarisan, yang mana Hakim perlu pertimbangan sendiri dalam produk putusan-putusannya. Oleh karena, belum ada Undang-undang khusus yang mengatur masalah hukum kewarisan Islam di Indonesia seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pada zaman modern sekarang ini, khususnya abad ke 21, bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah menjadi dua macam, selain fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fikih. Adapun yang pertama ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah Kompilasi Hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fikih. Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga di negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Diantara para ulama ada yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum lama dengan kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun substansi hukumnya. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan serta masalah wakaf). Ini tantangan tersendiri bagi penerapan hukum kewarisan Islam di Indonesia.(Al Fitri, 2020, p. 5).

  

  • Pembaruan Hukum Islam Dalam Bidang Kewarisan di Indonesia

 

Secara keseluruhan, pembaruan hukum Islam di Indonesia, berjalan agak berlahan dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, terutama di negara timur tengah, Afrika Utara, India dan Pakistan. Jika Indonesia melakukan pembaruan hukum Islam pada dekade tahun 1970- an, dengan terwujudnya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka di Jordania telah menetapkan law of family right tahun 1951, Syria melahirkan Syria of personal status tahun 1953, Maghribi melahirkan family of maroco tahun 1957, Pakistan melahirkan family of Pakistan tahun 1955, Iraq tahun 1955 mewujudkan law of personal status of iraq, Tunisia melahirkan tunisian code of personal status tahun 1957, dan Sudan telah melahirkan sudan family law tahun 1960.(Zulhamdi, 2019, p. 4).

Pembaruan hukum Islam Indonesia tak lepas dari kontribusi pemikiran dari beberapa tokoh pembaru Indonesia khususnya yang konsen dalam kajian hukum Islam. Mereka ini adalah Hazairin, Hasbi AshShiddieqy, Munawir Sjadzali, Ibrahim Hozen, Sahal Mahfuz dan Ali Yafie. Tokoh-tokoh ini tampak sepakat akan pentingnya dilakukan pembaruan atau pengembangan hukum Islam yang akan diberlakukan di Indonesia melalui upaya reformulasi oleh pemikir hukum Islam Indonesia yang disesuaikan dengan kultur masyarakat Indonesia serta perkembangan modern yang diwarnai berbagai permasalahan kontemporer. Hal ini dalam rangka menjaga aktualisasi fikih sebagai salah satu khasanah keilmuan Islam agar mampu menjawab tuntutan kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, fikih akan terus berdialektika dengan kehidupan umat Islam Indonesia di segala zaman.(Rahman, 2021, p. 9).

Jika ditelusuri, lahirnya pembaharuan hukum Islam di Indonesia semisal Kompilasi Hukum Islam antara lain didasarkan pada ide-ide pembaruan yang dilontarkan oleh beberapa tokoh terkemuka. Mereka ini telah melontarkan gagasan-gagasan pembaruannya dalam rangka menciptakan hukum Islam yang berkarakter ke-Indonesiaan, yakni sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh dan gagasan-gagasan mereka akan diuraikan satu-persatu dalam uraian di bawah ini:(Zulhamdi, 2019, pp. 11–17)

  • Hasbi Ash-Shiddieqy: Fikih Indonesia

Rumusan fikih yang dikehendaki Hasbi Ash-Shiddieqy, tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut beliau, hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks ini, beliau mengambil contoh terjadinya perubahan pendapat Imam Syafi’i dari qaul qadim ketika di Iraq menjadi qaul jadid saat di Mesir yang disebabkan karena perbedaan lingkungan dan adatistiadat.

  • Hazairin: Mazhab Nasional Indonesia

Pemikiran beliau dalam hukum Islam antara lain adalah mengenai asas bilateral dalam hukum kewarisan. Menurut beliau, sistem kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam alquran adalah bilateral. Pernyataan tersebut, konon merupakan kesimpulan atas hasil telaahbeliau terhadap ayat-ayat perkawinan dan kewarisan dalam Alquran. Beliau meyakini alquran adalah anti kepada masyarakat yang unilateral, yakni masyarakat yang berclan-clan menurut sistem kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Jadi, Alquran hanya meridhai masyarakat yang bilateral. Keyakinan tersebut diperoleh setelah mempelajari dengan seksama surat al Nisa (4) ayat 23 dan 24, di mana ayat ini berbicara mengenai larangan-larangan perkawinan. Di dalam ayat tersebut, Allah SWT tidak melarang perkawinan cross cousins dan parallel cousins antara seorang lakilaki dan seorang wanita. Ini mengandung makna bahwa tidaklah wajib melakukan perkawinan eksogami untuk mempertahankan calan (matrilineal dan patrilineal) dalam masyarakat unilateral serta tidak adanya larangan untuk melakukan perkawinan endogamy dalam clan atau usbahnya. Karena sistem kekeluargaan dalam alquran adalah bilateral, maka asas kewarisan yang merupakan bagian sistem kekeluargaan harus bilateral pula.

  • Munawir Syadzali: Reaktualisasi Hukum Islam

Munawir Syadzali melontarkan ide mengenai bunga bank dan pembagianwarisan sama antara anak laki-laki dan perempuan. Ide peninjauan ulang atas institusi-institusi hukum Islam, khususnya kewarisan dan lembaga perbankan didasarkan atas pengamatan Munawir terhadap gejala sikap mendua masyarakat Indonesia dalam berbagai kasus penyelesaian kewarisan dan perbankan. Ia mensinyalir membudayanya kebijaksanaan preemptive dalam kewarisan, atau adanya istilah wasiat wajib seperti yang berkembang di Kalimantan Selatan. Sementara itu, dalam kasus perbankan masih diyakini secara umum bahwa bunga bank itu adalah riba yang hukumnya haram.

  • Ibrahim Hosen: Memfikihkan Nash Qat’i

Dasar pemikiran beliau adalah bahwasanya ketentuan hukum bagi setiap aktivitas tidak semuanya tercantum secara tegas dalam nash. Maka, perlu ada ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan baru, dengan berdasarkan pada pedoman dan kaidah-kaidah yang telah diakui dan ditetapkan dalam Ilmu Ushul Fikih.

  • Ali Yafie dan Sahal Mahfuz: Fikih Sosial

Ali Yafie dan Sahal Mahfuz dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan wacana fikih sosial.

Hukum keluarga Islam sangat penting kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim di Indonesia, karena permasalahan tentang keluarga dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non-muslim, sehingga masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku khusus, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga dibutuhkan metode-metode untuk pembaruan hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah jawaban dari keresahan, ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi pedoman, dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.(Al Fitri, 2020, p. 4).

Formulasi pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditempuh melalui:

  • Takhyîr

Yakni seleksi dalam artian pemilihan pendapat yang benar dan pantas untuk diterapkan.

  • talfîq

Yakni Perpaduan pemikiran berbagai mazhab hukum atau eklektik.

  • takyîf

Yakni pola adaptasi dan akomodasi unsur lain, berupa pertimbangan realitas yang berkembang dan adat. Khusus mengenai adat, unsur lokalitas (nilai hukum adat) juga hukum perdata Barat tidak bisa dihindari. (Darmawan, 2018, p. 191)

Tren atau kecenderungan pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia, meminjam bahasa Fazlur Rahman, menunjukkan polarisasi neo-modernisme. Dengan kata lain, mengambil kompromi antara hukum syariah, hukum Barat dan hukum adat, menurut tipologi Anderson. Selain mengacu kepada khazanah fikih klasik, dengan kaidah-kaidah yang diformulasikan para ulama dalam kitab-kitab fikih dan usul fikih, juga mengakomodasi nilai-nilai hukum yang tumbuh dalam kesadaran masyarakat. pembaruan hukum Islam lebih kentara dalam bidang hukum kewarisan Islam. Karena bisa kita lihat banyak persoalan-persoalan waris yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan yang ada dalam formulasi farâidh pada umumnya. Di antaranya adalah persoalan mawâni’ al-irthi (penghalang mendapatkan harta warisan). Menurut para ulama mawâni’ al-irthi ada tigayaitu: (a) al-qatl (pembunuhan) (b) ikhtilâf al-dîn (berbeda agama) (c) al-‘abdu (budak). Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana disebutkan dalam pasal 173 berbunyi seorang terhalang mendapatkan harta warisan dikarenakan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengadukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.(Darmawan, 2018, p. 184)

Pembaruan dalam unsur al-qatl (pembunuhan) telah mengalami perkembangan yang luas. Sehingga meski belum terjadi al-qatl (pembunuhan), segala tindakan anarkis yang mengarah pada pembunuhan (percobaan pembunuhan dan atau penganiayaan), bisa dikatagorikan sebagai penghalang waris. Hal ini bisa difahami dalam melihat fase terakhir dari tahqîq almanâth, yakni berupa tanzîl al-ahkâm alâ al-wâqi’, realita masyarakat modern berubah, terutama terkait penghormatan pada hak individu. Maka tindakan yang mengancam individu, baik nyawa, kebebasan, maupun kehormatan tidak bisa ditoleransi.(Darmawan, 2018, p. 185)

Tahqîq al-manâth merupakan sebuah proses dan upaya dalam menemukan hukum yang melewati 3 fase: (1) istinbât min al-nushûsh, penggalian hukum dari teks sumber dengan memanfaatkan instrumen pemahaman literal nash, (2) idrâk al-wâqi', pengetahuan realita yang menjadi objek hukum dengan memanfaatkan instrumen keilmuan sosial dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu, serta (3) tanzîl al-ahkâm ‘alâ al-wâqi', upaya menggulirkan dan mengaplikasikan hukum kepada realita dengan memanfaatkan instrumen maqâshid syari’ah sebagai jembatannya.(Darmawan, 2018, p. 191).

Dalam konteks pembaharuan hukum Islam seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikateorikan sebagai hasil ijtihad ulama Indonesia. Dalam arti yang lebih popular ia sebagai fiqih Indonesia yang berkaratker dan bercirikan keadaan sosial, antropologi dan budaya Indonesia. Sebab perlu diketahui bahwa hukum yang baik adalah hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, sesuai dengan kepribadian dan realitas bangsa. Sebuah pertanyaan yang sering diajukan pengkaji hukum adalah mengapa KHI tidak diundangkan? Maksudnya apakah dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden yang mempunyai landasan yuridis yang kuat. Dengan demikian maka Kompilasi Hukum Islam (KHI) akan menjadi hukum potisif yang sifatnya mengikat dan memaksa, tidak lagi hanya sebagai pegangan dalam menetapkan hukum belaka. Oleh karena langkah alternatif yang mungkin dapat dijalani adalah mengundangkan persoalan-persoalan yang relatif tidak mengundang friksi dan kecurigaan kelompok sekuler dan yang pobia terhadap Islam. Persoalan yang dimaksud misalnya: Undang-Undang tentang Zakat (saat ini telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat), Undang-Undang tentang Wakaf dan Undang-Undang tentang Kewarisan. Undang-Undang tentang pengelolaan zakat telah dikeluarkan pada masa pemerintahan Baharuddin Jusuf Habibie. Bahkan tahun ini Dewan Perwakilan Rakyat telah mengagendakan untuk membahas Undang-Undang Perbankan Syariah. Jika salah satu dari hal tersebut telah diundangkan maka hal yang lain akan lebih mudah karena telah ada jalan. Selain itu dari perspektif politik hukum, jika umat Islam menginginkan hukum Islam menjadi warna dominan di Indonesia, maka perjuangan politik-struktural harus secara serius dilakukan. Maksudnya karena Indonesia mazhab yang dianut lebih pada positifisme hukum (legalistik formal), maka umat Islam harus menguasai parlemen legeslatif, untuk menguasai legislatif perjuangan partai Islam atau partai yang berbasis Islam untuk satu kata yaitu revitaslisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Langkah kedua, yaitu langkah sosio-kultural hal ini dapat dilakukan dengan pembinaan masyarakat Islam melalui pendidikan, budaya atau dengan jalan mempengharuhi lembaga negara yang terkait untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Jalan tersebut dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam seperti: Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, ICMI dan sebagainya. Sehingga dengan kedua jalur tersebut akan tercipta tatanan masyarakat yang Islami dan pada akhirnya akan melahirkan tatanan hukum yang Islami pula.(Mulia, 2008, pp. 81–82).

Dalam pembaruan Kompilasi Hukum Islam telah banyak bermunculan tandingan terhadap Kompilasi Hukum Islam yang sudah ada, seperti adanya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang digagas oleh 11 orang dengan koordinator Siti Musdah Mulia yang merupakan produk ijtihad hukum keluarga Islam kontemporer yang mencoba memadukan hukum Islam konvensional (pendapat fikih klasik) dengan kondisi sosiologis masyarakat Islam di Indonesia, maka menjadi hal yang lumrah jika kontruksi metodologis hukum Kompilasi Hukum Islam maupun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) akan terus menarik dijadikan sebagai objek studi riset dan diskusi kajian serius bagi kalangan akademisi maupun pemangku kebijakan publik dalam rangka pengembangan hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia dalam pembaruan Hukum Islam khususnya bidang kewarisan Islam.(Athoillah, 2019, p. 173).

Di dalam institusi Peradilan Agama, Hakim mempunyai peranan penting untuk melakukan ijtihad dalam rangka pengembangan hukum materiil Peradilan Agama yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya buku II tentang Hukum Kewarisan. Hal ini merupakan terobosan yang selama ini belum pernah dilakukan atau dikenal dalam praktek di lingkungan Peradilan Agama karena seakan-akan bertentangan secara teks dengan al-Qur’an, as-Sunnah maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). (Khisni, 2011, p. 158)

  • PENUTUP

Sejarah hukum kewarisan di Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun  1989 Tentang Peradilan Agama yang kewenangannya menyelesaikan sengketa kewarisan bagi umat Islam di Indonesia dan terwujudnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden RepubIik Indonesia (Soeharto) telah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk : pertama menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 (tiga) buku: Buku I : tentang Hukum Perkawinan, Buku II : tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III : tentang Hukum Perwakafan.

Dalam Proses Legislasi Hukum Islam bidang Kewarisan bisa dilihat dalam perumusan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, respons dan reaksi negatif dikemukakan terutama oleh kalangan non-Muslim. Franz Magnis Suseno adalah tokoh Katolik yang sangat keras menentang pengundangan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama ini. Menurut dia, legislasi RUUPA berarti penyerahan sebagian materi peradilan dari tangan negara ke tangan badan non-negara. Ini artinya bahwa negara menyerahkan sebagian kedaulatannya ke pihak lain dan mengabdikan dirinya kepada norma kehidupan manusia. Maka pada tahun 1989 proses legislasi Undang-Undang tentang Peradilan Agama itu selesai dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Penerapan Hukum Islam bidang kewarisan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sejauh ini masih diterapkan sebagai landasan hukum bagi hakim dalam memutus perkara-perkara kewarisan bagi umat Islam di Indonesia.

Adapun tantangan yang dihadapi saat ini dalam bidang Kewarisan Islam yakni belum adanya Undang-undang khusus yang mengatur tentang Kewarisan seperti halnya telah di Undangkan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1974, sehingga hakim memiliki pandangan sendiri dalam memutus perkara kewarisan yang masuk ke Pengadilan Agama.

Oleh sebab itu, perlu pembatuan hukum Islam dalam bidang Kewarisan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II, seperti Pembaruan dalam unsur al-qatl (pembunuhan) telah mengalami perkembangan yang luas. Sehingga meski belum terjadi al-qatl (pembunuhan), segala tindakan anarkis yang mengarah pada pembunuhan (percobaan pembunuhan dan atau penganiayaan), bisa dikatagorikan sebagai penghalang waris. Hal ini bisa difahami dalam melihat fase terakhir dari tahqîq almanâth, yakni berupa tanzîl al-ahkâm alâ al-wâqi’, realita masyarakat modern berubah, terutama terkait penghormatan pada hak individu. Maka tindakan yang mengancam individu, baik nyawa, kebebasan, maupun kehormatan tidak bisa ditoleransi. Atau pembaruan dalam bentuk Undang-undang Kewarisan.

Jadi disini presenter dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam dalam bidang kewarisan di Indonesia telah ada semenjak sebelum penjajahan, masa penjajahan dan masa setelah Indonesia merdeka dan terakhir telah dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam yang didalamnya membahas pasal-pasal kewarisan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Affandy. (2020). Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia. Jurnal Studi Islam, 15(2), 42.

Al Fitri. (2020). Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam. Kampus, 1(2), 1–21.

Amran Suadi. (2015). PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA (Aspek Perkawinan dan Kewarisan ). Jurnal Yuridis, 2(1), 1–27. http://saifudiendjsh.blogspot.com/2014/02/pengertian-hukum-perdata-islam-di.html

Athoillah. (2019). Eksistensi Hukum Keluarga Islam di Indonesia dalam Kontestasi Politik Hukum dan Liberalisme Pemikiran Islam. Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam, 4(2), 161. https://doi.org/10.29240/jhi.v4i2.1059

Bani Syarif Maula. (2014). Politik Hukum Dan Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia [Studi Tentang Produk Hukum Islam Dalam Arah Kebijakan Hukum Negara]. Istinbath, Hukum, Vol. 13, N(1), 48–64.

Darmawan. (2018). TAHQÎQ AL-MANÂTH DALAM PEMBARUAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. Al-Daulah, 8(April), 165–193.

Djaja S. Meliala. (2018). Hukum Waris (Nuansa Aulia (ed.); 1st ed.). Nuansa Aulia. http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/9085/Djaja_143958-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Fahimah, I. (2018). Sejarah Perkembangan Hukum Waris Di Indonesia. Nuansa, 11(2), 107–116. https://doi.org/10.29300/nuansa.v11i2.1367

Fauzi, M. Y. (2016). Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 9(2), 53–76.

Hafizd, J. Z. (2021). Sejarah Hukum Islam di Indonesia: Dari Masa Kerajaan Islam Sampai Indonesia Modern. Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 9(1). https://doi.org/10.24235/tamaddun.v9i1.8087

Halim, A. (2013). Membangun Teori Politik Hukum Islam di Indonesia. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 13(2), 259–270. https://doi.org/10.15408/ajis.v13i2.938

Hamzah. (2020). Peranan Peradilan Agama Dalam Pertumbuhan Dan Dinamika Hukum Kewarisan Di Indonesia. Jurnal Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan, 2(2), 122–139.

Haries, A. (2013). Pluralisme Hukum Kewarisan Di Indonesia. Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 11(1), 31–37. https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib/article/view/115

Hasanudin, H. (2021). Transformasi Fiqh Mawaris dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Islamadina : Jurnal Pemikiran Islam, 22(1), 43. https://doi.org/10.30595/islamadina.v22i1.8942

Hatta, M. (2008). Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, 11(1 Juni), 142–166. http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/view/142

Hendra Gunawan. (2018). EKSISTENSI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL. Yurisprudentia, 4(1), 108–131.

Husien, S., & Khisni, A. (2017). Hukum Waris Islam Di Indonesia (Studi Perkembangan Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Praktek Di Pengadilan Agama ). Jurnal Akta, 5(1), 75. https://doi.org/10.30659/akta.v5i1.2533

Ibnu. (2017). Politics of Islamic Inheritance Law; Comparative Study of Indonesian and Saudi Arabian Inheritance Law. Jurnal Bimas Islam, 10(IV), 639–664. http://jurnalbimasislam.kemenag.go.id/index.php/jbi/article/view/38

Ida Kurnia, T. H. S. (2019). PENINGKATAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP PENGATURAN HUKUM WARIS DI INDONESIA. Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 2(2), 304–308.

Ija Suntana. (2014). Politik Hukum Islam (Cet 1). Pustaka Setia.

Iqbal, M. (2012). Politik Hukum Hindia Belanda dan Pengaruhnya Terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 12(2), 117–126. https://doi.org/10.15408/ajis.v12i2.972

Khisni, A. (2011). Ijtihad Hakim Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan dan Kontribusinya Terhadap Hukum Nasional. 18, 146–163.

Komari. (2015). EKSISTENSI HUKUM WARIS DI INDONESIA: ANTARA ADAT DAN SYARIAT. Asy-Syari‘Ah, 17(2), 157–172.

Leleang, A. T. L. T., & Zubair, A. Z. A. (2019). Problematika Dalam Penerapan Hukum Waris Islam. Al-Bayyinah, 3(2), 220–234. https://doi.org/10.35673/al-bayyinah.v3i2.477

Muhsin Aseri. (2016). Politik Hukum Islam Di Indonesia. Ilmiah Al-Qalam, 9(17), 143–161.

Mulia, M. (2008). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Islam Futura, 7(1), 64–85.

Munir, S. (2014). PENGARUH HUKUM ISLAM TERHADAP POLITIK HUKUM INDONESIA. Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 13(2), 127–155.

Rahman, B. A. (2021). MELACAK PEMIKIRAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Sekolah Tinggi Agama Islam DDI (STAI DDI), 1(2), 1–12.

Sanjaya, U. H. (2017). Urgensi (Politik Hukum) Hukum Kewarisan Di Indonesia Mengacu Pada Kompilasi Hukum Islam (Dikaitkan Dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang …. Jurnal Yuridis, 1(2), 243–254. https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/154

Somawinata, Y. (2009). Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Al Qalam, 26(1), 129–149. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/1545

Sularno, O. M. (2008). Dinamika Hukum Islam Bidang Keluarga di Indonesia. Al-Mawarid, 18, 249–262. https://doi.org/10.20885/almawarid.vol18.art6

Syafruddin. (2020). Politik Hukum Islam di Indonesia. In Sahifa (Ed.), Sahifa (Cet 1). Sahifa.

Zulhamdi, Z. (2019). Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Dan Tokoh-Tokohnya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 19(2), 239. https://doi.org/10.22373/jiif.v19i2.4414

 

  • dukacitarizki.jpg
  • Pel-ketuaBARU.jpg
  • Pel-PP.jpg
  • Pel-Waki-nurlainil.jpg